(Jasmani) yang bersifat jangka Pendek. Sedangkan Kebahagiaan adalah keadaan jiwa (Rohani) yang bersifat jangka Panjang. Orang bisa senang, tetapi belum tentu Bahagia. Begitu Juga Sebaliknya. Kualitas Kebahagiaan Bersesuaian dengan tingkat kesulitan dan penderitaan demi meraih sebuah tujuan. seringkali manusia harus mengorbankan kesenangan demi tercapainya kebahagiaan. Dalam Filsafat Mulla Sadra, Kebahagiaan adalah wujud eksistensi yang tetap sedangkan kesenangan adalah mahiyah (esensi) yang senantiasa berubah. Secara Fitrah (realisme Instingtif), Manusia Senantiasa Membutuhkan ketetapan (konsefsi Filsafat) dan Juga tidak mungkin melepaskan dirinya secara fakta (alam) dengan hal-hal yang berubah (konsepsi mahiyah). Oleh karena itu, secara wujud (ada/eksistensi), kebahagiaan tidak memiliki lawan, Sebagaimana ada lawannya tidak ada, dan tidak ada sesungguhnya noneksistensi. jadi tidak mungkin menjadi lawan dari ada, kebahagiaan secara hakiki menjadi sandaran tetap jiwa namusia sedangkan kesenangan memiliki lawan di alam ini, yaitu kesulitan/penderitaan. Bahkan, Penderitaan/kesulitan dalam spiritualitas menjadi jembatan terbaik menuju kebahagiaan, asalkan penderitaan ini diterima bukan sebagai keterpaksaan (determinisme) melainkan sebagai pilihan rasional dalam mendidik jiwanya. kita tidak anti terhadap kesenangan (Jasmani) karena sifat alamiah alam, tetapi sejatinya, kesenangan tidak bisa menjadi penghalang kebahagiaan (rohani).
KELUAR DARI KEMELUT MENUJU KEBAHAGIAAN
Rp 60.000,00
(Jasmani) yang bersifat jangka Pendek. Sedangkan Kebahagiaan adalah keadaan jiwa (Rohani) yang bersifat jangka Panjang. Orang bisa senang, tetapi belum tentu Bahagia. Begitu Juga Sebaliknya. Kualitas Kebahagiaan Bersesuaian dengan tingkat kesulitan dan penderitaan demi meraih sebuah tujuan. seringkali manusia harus mengorbankan kesenangan demi tercapainya kebahagiaan. Dalam Filsafat Mulla Sadra, Kebahagiaan adalah wujud eksistensi yang tetap sedangkan kesenangan adalah mahiyah (esensi) yang senantiasa berubah. Secara Fitrah (realisme Instingtif), Manusia Senantiasa Membutuhkan ketetapan (konsefsi Filsafat) dan Juga tidak mungkin melepaskan dirinya secara fakta (alam) dengan hal-hal yang berubah (konsepsi mahiyah). Oleh karena itu, secara wujud (ada/eksistensi), kebahagiaan tidak memiliki lawan, Sebagaimana ada lawannya tidak ada, dan tidak ada sesungguhnya noneksistensi. jadi tidak mungkin menjadi lawan dari ada, kebahagiaan secara hakiki menjadi sandaran tetap jiwa namusia sedangkan kesenangan memiliki lawan di alam ini, yaitu kesulitan/penderitaan. Bahkan, Penderitaan/kesulitan dalam spiritualitas menjadi jembatan terbaik menuju kebahagiaan, asalkan penderitaan ini diterima bukan sebagai keterpaksaan (determinisme) melainkan sebagai pilihan rasional dalam mendidik jiwanya. kita tidak anti terhadap kesenangan (Jasmani) karena sifat alamiah alam, tetapi sejatinya, kesenangan tidak bisa menjadi penghalang kebahagiaan (rohani).
(Jasmani) yang bersifat jangka Pendek. Sedangkan Kebahagiaan adalah keadaan jiwa (Rohani) yang bersifat jangka Panjang. Orang bisa senang, tetapi belum tentu Bahagia. Begitu Juga Sebaliknya. Kualitas Kebahagiaan Bersesuaian dengan tingkat kesulitan dan penderitaan demi meraih sebuah tujuan. seringkali manusia harus mengorbankan kesenangan demi tercapainya kebahagiaan. Dalam Filsafat Mulla Sadra, Kebahagiaan adalah wujud eksistensi yang tetap sedangkan kesenangan adalah mahiyah (esensi) yang senantiasa berubah. Secara Fitrah (realisme Instingtif), Manusia Senantiasa Membutuhkan ketetapan (konsefsi Filsafat) dan Juga tidak mungkin melepaskan dirinya secara fakta (alam) dengan hal-hal yang berubah (konsepsi mahiyah). Oleh karena itu, secara wujud (ada/eksistensi), kebahagiaan tidak memiliki lawan, Sebagaimana ada lawannya tidak ada, dan tidak ada sesungguhnya noneksistensi. jadi tidak mungkin menjadi lawan dari ada, kebahagiaan secara hakiki menjadi sandaran tetap jiwa namusia sedangkan kesenangan memiliki lawan di alam ini, yaitu kesulitan/penderitaan. Bahkan, Penderitaan/kesulitan dalam spiritualitas menjadi jembatan terbaik menuju kebahagiaan, asalkan penderitaan ini diterima bukan sebagai keterpaksaan (determinisme) melainkan sebagai pilihan rasional dalam mendidik jiwanya. kita tidak anti terhadap kesenangan (Jasmani) karena sifat alamiah alam, tetapi sejatinya, kesenangan tidak bisa menjadi penghalang kebahagiaan (rohani).
Label:
Ayatullah Ja'far Subhani,
Tasawuf
Posting Komentar